Selamat Datang di Website Resmi Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bulungan | Pusat Informasi, Belajar dan Pelayanan | Menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBS)

Publikasi

Opini

Pemilihan Umum Tahun 2024 akan diselenggarakan pada Rabu, 14 Februari 2024. Sebagai penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten, khususnya di Kabupaten Bulungan tentu penulis punya harapan besar terhadap proses tahapan demi tahapan bisa berjalan dengan baik tanpa hambatan apapun. Tulisan ini dibuat sebagai tanda telah selesainya tahapan penetapan daftar pemilih mulai di tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat, menandakan bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) telah ‘dilahirkan’ untuk digunakan pada Pemilu 2024 mendatang. Prosesnya tentu cukup panjang sejak diterimanya DP4 pada Desember 2022, Pencocokan dan Penelitian (Coklit) pada Februari sampai dengan Maret 2023, masukan dan tanggapan hingga penetapan DPT di bulan Juni 2023. Khoirunnisa Agustyati, Perludem, dalam catatannya Jurnal dan Demokrasi (2016) mengatakan, “Pendaftaran pemilih merupakan hal penting dalam proses penyelenggaraan pemilu. Melalui pendaftaran pemilih hak politik setiap warga negara untuk memberikan suara dalam proses demokrasi perwakilan akan ditentukan. Dalam hal ini terfasilitasi atau tidaknya setiap wagra negara untuk memberikan suara dalam pemungutan suara pada saat pemilu tergantung pada keberhasilan pendaftaran pemilih.” Ketegasan tentang hak pilih dan memilih setiap Warga Negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat 1 (satu) bahwa, ”Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Karena itu, hak-hak ini dijamin dan dilindungi untuk pemenuhan hak memilih setiap warga negara dalam pemilu. Pemilu 2024 harus lebih baik ketimbang Pemilu 2019, keberhasilan pemilu ditunjang dengan beberapa faktor salah satunya adalah semakin meningkatknya antusias pemilih khususnya pemilih muda, kenapa? Karena jumlah cukup banyak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memproyeksi pemilih muda akan mencapai 60 persen pada tahun 2024 mendatang. Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU RI yang telah dilaksankaan pada 2 Juli 2023 di Jakarta, jumlah pemilih didominasi oleh Gen X dan Milenial dengan jumlah 61,67 persen atau sebanyak 126.308.871 dari 204.807.222 pemilih yang tersebar di Indonesia. Lalu bagaimana dengan pemilih di Kabupaten Bulungan? Sebelumnya penulis menyampaikan uraian kategori pemilih dan tahun kelahiran pemilih di Kabupaten Bulungan. Pemilih dengan kategori Pre Boomer kelahiran sebelum 1945 sebanyak 1.275 pemilih (1,14%), Baby Boomer kelahiran 1946 sampai dengan 1964 sebanyak 11.618 pemilih (10,36%), Gen X kelahiran 1965 sampai dengan 1980 sebanyak 30.499 pemilih (27,20%), Milenial kelahiran 1981 sampai dengan 1996 sebanyak 40.278 pemilih (35,92%) dan Gen Z kelahiran 1997 sampai dengan 2012 sebanyak 28.458 pemilih (25,38%). Kemudian ketegori pemilih dalam usia, di atas 40 Tahun sebanyak 47.002 pemilih atau 41,90 persen, usia 15 sampai dengan 30 Tahun sebanyak 40.190 atau 35.84 persen, tentu masyarakat bertanya, kenapa masih ada usia 15 dan 16 tahun yang masuk sebagai pemilih sementara syarat untuk menjadi pemilih adalah mereka yang sudah 17 tahun ke atas? Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Sistem Informasi Data Pemilih pada pasal 4 ayat a disebutkan bahwa WNI dapat terdaftar sebagai pemilih ketika memenuhi syarat “genap usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara, sudah kawin, atau sudah pernah kawin” frasa inilah yang kemudian kembali mempertegas bahwa Warga Negara Indonesia di bawah 17 tahun dapat menjadi pemilih ketika sudah kawin. Selanjutnya usia 31 sampai dengan 40 tahun sebanyak 24.936 pemilih atau 22.24 persen. Berdasarkan data tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pemilih berdasarkan generasi dan tahun kelahiran didominasi oleh pemilih Milenial dengan jumlah presentase sebanyak 35,92 persen dan disusul Gen X sebanyak 27,20 persen, dan di urutan ketiga yakni pemilih kategori Gen Z sebanyak 25,38 persen. Sementara berdasarkan usia dengan jumlah pemilih 65.126 pemilih atau 58,08 persen didominasi oleh usia 15 sampai dengan 40 tahun yang tersebar di 10 kecamatan, 74 desa dan 7 kelurahan. Sebagaimana tema tulisan yang diangkat oleh penulis yakni, ‘Generasi Muda, Kenapa Harus Memilih?’, karena ada 3 kelompok kategori pemilih (Gen X, Milenial dan Gen Z) yang sangat besar yakni mencapai 88,50 persen atau sebanyak 99.235 dari 112.128 pemilih, jika dibandingkan dengan pemilih kategori Pree Boomer dan Baby Boomer yang hanya 12.893 pemilih. Dengan jumlah yang besar ini jika dibarengi dengan kesadaran yang tinggi untuk datang ke TPS maka penulis pastikan partisipasi pemilih pada tahun 2024 di Kabupaten Bulungan akan meningkat dari pemilu 2019. Bahwa memilih itu penting sebagai bentuk partisipasi sebagai Warga Negara Indonesia dan menentukan pemimpin lima tahun yang akan datang. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh kelompok demografis potensial dalam menyongsong Pemilu 2024 yang jumlahnya tidak sedikit? Bayangkan, jika pemilih generasi muda yang jumlahnya puluhan ribu ini menyadari bahwa pemilu adalah sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat, maka di sinilah prosesnya mereka untuk melakukan regenerasi kepemimpinan secara kontitusional, menyeleksi calon-calon pemimpin yang berkualitas, terlibat langsung menjadi penyelenggara (PPK, PPS, KPPS) dan yang tidak kalah penting adalah datang ke TPS untuk menyalurkan hak pilihnya tanpa didorong oleh iming-iming tertentu. Generasi ini harus memahami bahwa pemilu merupakan bagian dari penguatan kehidupan demokrasi serta bagian dari upaya untuk mewujudkan tatanan pemerintahan yang lebih baik. Bukan menjadi generasi yang apatis atas situasi dan kondisi di sekelilingnya. Jika hal-hal sederhana ini dilakukan maka Pemilu 2024 akan menjadi lebih baik. Pemilih muda memang perlu dipetakan karena tidak semua terlahir dari lingkungan politik atau terlahir dari seorang politisi. Ada yang buta dan ada yang melek politik, sehingga ini sangat berpengaruh terhadap lingkungan mereka. Kendati demikian, penulis optimistis generasi muda ini dapat menjadi duta pemilih pada pemilu nantinya, tidak melewatkan haknya sebagai Warga Negara Indonesia. Pada akhirnya, penulis berharap bahwa besarnya jumlah hak suara yang dimiliki oleh generasi muda pada pemilu 2024 nanti, dapat berbanding lurus dengan besarnya kesadaran dan tanggung jawab mereka dalam menentukan nasib bangsa kedepan. Penulis : Mistang, S.Kom Anggota KPU Kabupaten Bulungan (Divisi Perencanaan Data dan Informasi)

Oleh : Oche William Keintjem, SH., MH. (Anggota KPU Bulungan)   Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi yaitu sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi sebagai prinsip dalam pemerintahan di Indonesia dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”. Sistem pemerintahan yang demokratis adalah sistem yang meletakkan kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat. Demokrasi menjadikan pemilu sebagai instrumen untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut. Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 merupakan salah satu instrumen demokrasi dalam rangka perwujudan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Pemilu dilaksanakan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Berdasarkan Keputusan KPU Nomor 21 Tahun 2022, KPU RI telah menetapkan bahwa hari Rabu tanggal 14 Februari 2024 merupakan hari dan tanggal untuk pemungutan suara Pemilu Serentak 2024 mendatang. Dan tepatnya pada tanggal 14 Juni 2022, KPU telah melounching tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 yang telah dituangkan dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2022. Dalam perspektif administrasi, pemilu diselenggarakan oleh KPU yang secara hirarkis keberadaannya sampai ditigkat daerah. Sebagai pelaksanaan manajemen publik terkait kepemiluan, KPU memiliki dua tugas penting terkait fungsi pelayanan, yaitu melayani peserta pemilu dan pemilih. Kualitas warga negara sebagai pemilik hak untuk memilih akan sangat menentukan berjalannya proses pemilu secara dinamis. Keterlibatan masyarakat bukan hanya terbatas pada waktu pemungutan suara. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan tahapan kepemiluan, keikutsertaan dalam mengoreksi daftar pemilih tetap, melaporkan setiap dugaan kejahatan dan pelanggaran pemilu serta mampu menangkal informasi-informasi provokatif dan menolak pemberian uang dari setiap calon akan sangat menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Namun hal yang teramat penting adalah terbentuknya karakter pemilih yang menentukan sikap politik berdasarkan pada pilihan yang sifatnya rasional seperti tidak memilih karena faktor uang atau tekanan politik identitas. Pemilu Serentak 2024 ini tentunya menjadi titik balik persoalan partisipasi pemilih yang sebelumnya ada. Angka partisipasi memilih diharapkan meningkat dan inflasi kualitas memilih juga ditingkatkan. Memberi kesadaran kepada masyarakat bahwa memilih adalah tindakan politik yang mulia sangat penting dilakukan. Termasuk di dalamnya adalah para penyandang disabilitas. Kelompok masyarakat ini yang awalnya dikenal dengan sebutan penyandang cacat saat ini lebih akrab disebut dengan penyandang disabilitas. Penggunaan kata disabilitas atau difabel merupakan kependekan dari different abilities people atau dapat juga diartikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan khusus. Kesepakatan penggunaan istilah “penyandang disabilitas” menggantikan istilah “penyandang cacat” ini sejak tahun 2010, tepatnya dalam kegiatan seminar nasional yang diselenggarakan oleh kementerian Sosial Republik Indonesia di Bandung pada tanggal 29 Maret – 1 April 2010. Istilah ini lebih filosofis, kontruktif dan sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), serta lebih sesuai dengan istilah yang digunakan secara internasional.     MENINGKATKAN PARTISIPASI PEMILIH DISABILITAS Mengenai hak politik penyandang disabilitas, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka masih mengalami kesulitan dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Sebenarnya hak politik penyandang disabilitas telah dijamin oleh undang-undang. Dalam Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas telah mengatur tentang hak politik untuk penyandang disabilitas, dimana salah satunya adalah memberikan hak dan kesempatan yang sama untuk dapat ikut berpartisipasi politik dalam pemilu. Partisipasi politik penyandang disabilitas tidak boleh hanya terbatas pada saat pemberian suara saja, tetapi para penyandang disabilitas juga dapat berperan serta aktif dalam kegiatan politik lainnya. Pada saat pelaksanaan pemilu, salah satu keterbatasan penyandang disabilitas adalah keterbatasan dalam mengakses pelayanan diruang publik khususnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sebetulnya, perlindungan atas hak pilih bagi kelompok penyandang disabilitas telah diatur dalam Pasal 350 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengisyaratkan agar TPS ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau termasuk oleh penyandang disabilitas, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas dan rahasia. Kemudian Pasal 356 ayat (1) menjelaskan bahwa pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih. Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suara wajib merahasiakan pilihannya. Kalau diamati di lapangan, masih banyak pendirian TPS yang tidak aksesibel bagi mereka yang mengakibatkan kesulitan dalam menggunakan hak suaranya.  Persoalan aksesibilitas penyandang disabilitas dalam pemilu sering terjadi. Pertama, tidak terakomodirnya pemilih disabilitas dalam DPT. Bagi sebagian petugas pemilu, penyandang disabilitas masih dianggap sebagai orang yang tidak punya hak pilih. Disatu sisi, para penyandang disabilitas dan keluarganya juga masih banyak yang merasa malu untuk didata, demikian juga keengganan ke TPS pada saat pemilu. Kedua, Ketersediaan alat bantu coblos masih belum ramah terhadap pemilih tunanetra (template braille). Sehingga pada akhirnya mereka memilih secara asal. Ketiga, akses ke tempat pemungutan suara di hari pemilihan. Bagi penyandang disabilitas daksa yang menggunakan kursi roda, banyak ditemukan TPS yang bertangga dikarenakan kebanyakan TPS di desa menggunakan balai pertemuan desa yang pada umumnya bentuk bangunannya tinggi (panggung). Hal ini tentunya menyulitkan untuk diakses atau dilalui para penyandang disabilitas. Keempat, Para penyandang disabilitas masih minim mendapatkan informasi terkait isu-isu kepemiluan. Beberapa penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi bagi mereka dan kesulitan akses untuk mendapatkan informasi seputar pemilu. Penggunaan hak politik dan mudahnya akses bagi penyandang disabilitas merupakan hal yang urgen karena dimaknai sebagai pembukaan ruang politik bagi penyandang disabilitas bisa mengapresiasikan hak-haknya. Aksesibitas sendiri bisa diartikan sebagai peluang, kesempatan atau kemudahan untuk memperoleh suatu pelayanan dalam menggunkan hak pilih. Adapun untuk mengakomodir hak politik dan meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu Serentak 2024, perlu ada jaminan yang diantaranya: Pertama, melakukan sosialisasi dan Pendidikan pemilih terhadap para penyandang disabilitas secara berkelanjutan. Kedua, menerima dan melibatkan penyandang disabilitas sebagai penyelenggaran pemilu ad hoc. Dengan adanya keterlibatan penyandang disabilitas sebagai penyelenggara ad hoc tentunya akan menjadi strategi dan upaya untuk meningkatkan partisipasi khususnya para penyandang disabilitas. Ketiga, meningkatkan kesadaran terhadap penyelenggara ad hoc untuk memberikan peran dalam keikutsertaan peyandang disabilitas untuk terlibat disemua tahapan penyelenggaraan pemilu. Keempat, Melibatkan penyandang disabilitas sebagai relawan pemilu dan agen demokrasi di komunitasnya. Hal ini perlu dilakukan untuk dapat memberikan informasi-informasi kepemiluan serta tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu khusnya bagi komunitas penyandang disabilitas. Kelima, melakukan himbauan kesadaran akan pentingnya partisipasi dan peran stockholder, masyarakat serta keluarga penyandang disabilitas untuk tidak merasa malu dan membantu para penyandang disabilitas dalam memberikan akses dan informasi berkaitan dengan pemilu. Keenam, Mengoptimalkan para penyandang disabilitas terdaftar dalam daftar pemilih. Selama ini, KPU secara detail telah merinci masing-masing jenis disabilitas per-kecamatan dalam 5 kategori, yaitu Tuna Daksa, Tuna Netra, Tuna Rungu/Wicara, Tuna Grahita dan Disabilitas lainnya. Hal ini tentunya perlu ditingkatkan terkait pelayanan pendataan pemilih bagi penyandang disabilitas di lapangan. Ketujuh, tersedianya aksebilitas bagi penyandang disabilitas. Tersedianya sarana dan prasarana aksesibel dalam pemilu bertujuan untuk memastikan agar tidak terdapat masalah mobilitas gerak bagi penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya. Dalam penentuan TPS ini perlu untuk diperhatikan juga terkait akses dan kemudahan bagi penyandang disabilitas. Pemilu ini merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin dan wakilnya dalam pemerintahan. Karenanya semua golongan masyarakat harus tercakup untuk dapat menggunakan hal pilih, tanpa terkecuali termasuk penyandang disabilitas. Pelaksanaan pemilu akses untuk mempermudah penyandang disabilitas untuk menyalurkan hak suaranya ini perlu dilakukan. Selain itu, melibatkan para penyandang disabilitas dalam setiap tahapan juga sangat penting. Dengan demikian diharapkan, penyandang disabilitas juga dapat menyalurkan hak pilihnya secara tepat dan sesuai dengan pilihannya.

Oleh : Chairullizza, SHI., MH (Ketua Devisi Hukum dan Pengawasan KPU Bulungan) Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut prinsip demokrasi. Dengan adanya prinsip demokrasi ini kedaulatan berada di tangan rakyat, dilaksanakan untuk dan atas nama rakyat. Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang menjadi salah satu dasar hukum tertulis menjamin pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.” Undang-undang Dasar (UUD) 1945  secara tegas menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”. Sesuai latar belakang perumusannya, frasa “secara demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dapat dilakukan baik secara langsung oleh rakyat maupun secara tidak langsung oleh DPRD. Keduanya, asalkan dilakukan secara jujur dan adil serta sesuai dengan prinsip-prinsip pemilihan adalah cara yang demokratis. Pemilukada langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan daerah yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.  Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PPU-II/2004 dinyatakan bahwa merupakan wewenang pembentuk undang-undang untuk menentukan apakah pemilukada dilakukan secara langsung atau tidak. Revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maksud dari dipilih secara demokratis yaitu dipilih langsung oleh rakyat. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur bahwa pasangan calon kepala daerah diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian menambah bahwa sejumlah penduduk dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah melalui jalur perseorangan. Pemilukada memiliki tiga fungsi penting dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Pertama, memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama bersama masyarakat di daerah sehingga ia diharapkan dapat memahami dan mewujudkan kehendak masyarakat di daerah. Kedua, melalui pemilukada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada misi, visi, program serta kualitas dan integritas calon kepala daerah yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggraan pemerintah di daerah. Ketiga, pemilukada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara politik terhadap seorang kepala daerah dan kekuatan politik yang menopang. Ramlan Surbakti dalam mengukur pemilu yang berintegritas dengan delapan parameter pemilu demokratik, salah satu diantaranya adalah terkait keadilan pemilu (electoral justice). Menurut Ramlan Surbakti, keadilan pemilu ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut : Pertama, Sistem yang mampu merespon setiap pertanyaan, keluhan dan protes yang berkaitan dengan semua aspek penyelenggaraan pemilu; Kedua, semua pelanggaran ketentuan pidana pemilu, dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dapat ditegakkan secara adil (keadilan punitif); Ketiga, semua sengketa administrasi pemilu dan sengketa hasil pemilu dapat diselesaikan secara adil (keadilan restoratif); Keempat, mampu menyelesaikan sengketa antar pemilu (alternatif). Dan Kelima, semua pelanggaran dan pemilu tersebut diselesaikan tepat waktu.   Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana terakhir dirubah menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 sebagai dasar penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Wali Kota, membagi sengketa dalam pemilukada terdiri atas dua bagian. Pertama, sengketa yang terjadi anta peserta pemilihan. Kedua, sengketa antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan. Jika diilihat kecenderungan dari beberapa penyelenggaraan pemilu terakhir, sengketa antar peserta pemilihan bisa dikatakan nihil terjadi.  Sebaliknya, sengketa antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan cukup banyak muncul pada penyelenggaraan pemilukada terakhir, salah satunya adalah sengketa hasil pemilukada. Sengketa hasil pemilukada adalah sengketa terhadap keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota terkait perselisihan hasil pemilihan. Pasal 156 menjelaskan bahwa perselisihan hasil pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan. Perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan ini adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih. Lantas pertanyaannya adalah, siapa yang berwenang mengadili sengeta perselisihan hasil pemilukada 2024? Eksistensi Badan Peradilan Khusus Pemilukada Melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa pemilukada telah dialihkan yang awalnya ditangani oleh Mahkamah Agung (MA) dialihkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Peralihan lokus penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Pada tanggal 29 Oktober 2008, ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi bersama-sama telah menandatangani berita acara pengalihan wewenang mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008. Namun kewenangan MK menyelesaikan sengketa perselisihan hasil hanya bertahan selama lebih kurang 5 tahun. Sebab, melalui Putusan MK Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak lagi berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Salah satu asalan yang dikemukakan dalam putusan tersebut, pemilukada bukanlah rezim pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disetujui DPR menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. UU Nomor 1 Tahun 2015 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kemudian mengadopsi sebuah badan peradilan khusus yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Dalam praktiknya, setelah adanya Putusan 97/PUU-XI/2013, MK masih mengadili sengketa perselisihan hasil pemilukada hingga sampai pemilukada tahun 2020.  Dalam amanat UU Pemilukada, badan peradilan khusus dibentuk paling lama sebelum pelaksanaan pemilukada serentak secara nasional. Pasal 157 ayat (1) menyebutkan, “Perkara perselisihan pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus”. Ayat (2) menyebutkan, “Badan peradilan khusus sebagaimana ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional”. Ayat (3) menyebutkan, “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”. Ayat (4) menyebutkan, “Peserta pemilihan  dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan  perolehan suara oleh KPU provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi”. Peradilan khusus adalah peradilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam Undang-Undang. Hingga saat ini terdapat delapan peradilan khusus yakni yaitu : peradilan anak, peradilan niaga, peradilan hak asasi manusia, peradilan tindak pidana korupsi, peradilan hubungan industrial, peradilan perikanan, mahkamah syariah, peradilan pajak. Enam jenis peradilan pertama masuk dalam lingkungan peradilan umum, satu peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan satu peradilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.       Badan peradilan khusus pemilukada sampai saat ini belum jelas bagaimana struktur dan tata cara beracara. Sekalipun sudah diamanatkan dalam undang-undang, namun keberadaan badan peradilan khusus ini masih dalam wacana. Butuh waktu untuk mendesain badan peradilan khusus yang nanti akan berwenang menyesaikan sengketa hasil pemilukada serentak nasional yang diperkirakan akan terlaksana pada tahun 2024. Hal ini tentunya akan menjadi persoalan hokum apabila sampai batas waktu, pembentukannya badan peradilan khusus pemilukada belum terbentuk juga.` Badan peradilan khusus pemilukada dapat terbentuk dan pelaksana menkanisme paling ulama harus oleh Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman atau peradilan merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern, yang salah satu cirinya adalah independen dan tidak memihak. Dalam negara hukum demokrasi kekuasaan kehakiman haruslah mandiri terlepas dari campur tangan apapun dan manapun datangnya. Untuk mewujudkannya, peradilan khusus pemilukada harus memiliki kedudukan, wewenang dan hukum acara yang jelas dan kesemuannya tersebut harus dalam ataupun dengan undang-undang karena Indonesia adalah negara hukum. Menurut pengamatan penulis, peradilan khusus pemilukada ini sebaiknya berdiri dibawah badan peradilan umum. Dimana nantinya didalam peradilan tersebut terdapat satu kamar yang akan menangani seluruh sengketa pemilukada baik sengketa yang terjadi sebelum, selama, dan setelah pelaksanaan pemilukada, kecuali pelanggaran etik tetap menjadi kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).  Unsur dari pemilu demokratis yaitu adanya unsur complaince with and enforcement of electoral law. Dalam kerangka ini, hukum semestinya menyediakan mekanisme yang efektif untuk pemenuhan atas pengaduan hukum dan penegakkan atas hak-hak pemilih yang memiliki kedaulatan serta menyediakan sanksi-sanksi hukum atas pelanggaran tertentu. Keberaan badan peradilan khusus pemilukada ini seyogyanya segera di bentuk, hal ini guna melakasnakan amanat Undang-undang dan memberi kepastian hukum. Harapan penulis, badan peradilan khusus pemilukada dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional yaitu tahun 2024. Semoga….